Selasa, 18 September 2012

Fisika

Fisika dan Kartun
Salomo Simanungkalit 
FISIKA agaknya mulai jadi momok murid SLTA akhir tahun 1970-an. Waktu itu mekanika sebagai bagian dari fisika diberikan di kelas satu, enam bulan sebelum pembagian jurusan. Sebelumnya mekanika -yang lebih dikenal sebagai ilmu pesawat-hanya untuk murid kelas dua dan tiga jurusan paspal. 
Mekanika diajarkan di kelas lebih lanjut karena satu alasan. Trigonometri, bidang matematika yang berurusan dengan ilmu ukur sudut, baru diperkenalkan di tingkat SLTA, belum seperti sekarang: di tingkat SLTP. Perlu satu tahun akrab dengan bidang ini sebelum berkenalan dengan mekanika yang memang sarat penggunaan trigonometri. 
Muatan kurikulum di akhir tahun 1970-an rupanya lebih maju dari sebelumnya. Selain memperkenalkan mekanika sejak di kelas satu, buku pegangan fisika yang dikeluarkan Departemen P dan K ketika itu, dalam jilid mekanika, malah menggunakan kalkulus diferensial untuk merumuskan gerak benda. Ketika mendeskripsikan fenomena magnet-listrik pada jilid lain, alat yang digunakan makin canggih: kalkulus integral. 
Kalkulus sebagai matematika memang mengasyikkan bagi mereka yang pernah duduk di bangku fakultas eksak. Ia dapat digunakan untuk bermacam keperluan, menjelaskan fenomena alam sampai menyelesaikan masalah-masalah keteknikan. Namun kalkulus dalam fisika, yang dimulai mahafisikawan Isaac Newton pada buku monumentalnya Principia, bisa menjadi pedang bermata dua bagi murid-murid SLTA. 
Murid mengidentikkan fisika dengan matematika. Mereka yang "berbakat" menyambutnya dengan Alleluia. Sebaliknya yang masih tersendat-sendat dengan matematika-dan ini bagian terbesar dari murid SD sampai SLTA di Indonesia-menghadapi fisika dengan Requiem aeternam. 
Ketersendat-sendatan anak Indonesia dengan matematika masih bisa ditelusuri pangkalnya. Bermula dari pengajaran matematika modern, yang ditandai dengan pengenalan konsep himpunan sejak SD, pada pertengahan 1970-an. Matematika modern dengan konsep himpunan belum menjadi konsumsi sekolah-sekolah guru sampai pertengahan tahun 1970-an, namun mereka harus mengajarkannya demi kurikulum. Memang ada penataran kilat dari pemerintah, yang ternyata belum cukup. 
Maka guru dan murid sama-sama bingung, tapi PR harus selesai. Orangtua terpaksa membantu anaknya di rumah. Si orangtua yang juga tidak mengerti akhirnya mengajari anaknya setelah baca-baca sebentar. Inilah efek multiplikasi dari kebingungan. 
Yang berbakat matematika, tanpa kegemaran pada fenomena alam, bisa terjerembab pada segi matematika dari fisika saja. Dia mahir memecahkan persamaan-persamaan matematika yang sulit dalam fisika, tapi ia bisa kesulitan menyimpulkan arti fisis dari relasi-relasi matematika yang ia peroleh. Tidak jarang kelemahan tersembunyi ini terbawa-bawa sampai mereka masuk ke fakultas-fakultas eksakta: sains atau teknik. Hal ini pernah dikeluhkan seorang dosen tamu yang expatriate di Jurusan Teknik Fisika ITB, medio 1980an. Mahasiswa, katanya, banyak yang cekatan menurunkan rumus, tapi tidak berhasil menyatakan makna fisika dari rumus-rumus itu. 
*** 
KEHADIRAN buku Kartun Fisika, karya Larry Gonick dan Art Huffman, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) adalah angin segar bagi mereka yang berkenalan dengan fisika lewat matematika sebagai pintu masuk. Dengan visualisasi kartun, konsep-konsep fisika diperkenalkan dengan cerita. Persamaan-persamaan matematika untuk menjelaskan konsep itu dimulai dengan hubungan-hubungan sederhana dengan operasi tambah, kurang, kali, bagi. 
Beberapa konsep yang bisa jatuh menjadi "abstrak" oleh guru yang tidak mampu, pada buku ini diperkenalkan dengan baik. Pengertian percepatan negatif, misalnya. Konsep percepatan negatif diperkenalkan dengan beberapa ilustrasi, yang sebagian menjadi jembatan untuk memahami konsep gaya. 
Ini memang khas cara seorang guru yang benar-benar guru menjelaskan satu konsep dengan berbagai pendekatan untuk mempersiapkan murid memahami konsep lain yang terikat dengan konsep tersebut. Art Huffman, penulis buku ini, memang staf program peragaan pengajaran fisika di Universitas California, Los Angeles (UCLA) yang mendapat PhD dalam fisika dari Universitas Washington. 
Fisika dengan kartun, dalam arti kartun sebagai instrumen visualisasi yang membantu pemahaman, mendapat momentumnya dalam buku ini ketika menjelaskan fenomena kelistrikan dan kemagnetan. Berbeda dengan mekanika yang bisa diajarkan hanya dengan sketsa garis dan titik untuk memungkinkan murid mendapat pemahaman yang optimal, listrik dan magnet di kelas akan lebih muda dipahami dengan alat peraga. Kartun pada bab tentang listrik dan magnet dalam buku ini sangat membantu pembaca memahami konsep-konsep tersebut tanpa hadir di kelas peraga. 
*** 
PENYAKIT terbesar pada penulis buku pelajaran di sekolah di Indonesia adalah ketidakmampuan mereka membuat cerita, story, ketika menjelaskan konsep-konsep fisika. Selipan cerita tentang tokoh-tokoh fisika penemu, apalagi pememang Nobel, hampir tak pernah ditemukan dalam pelajaran sekolah. 
Kartun Fisika yang diterbitkan tahun 2001 oleh KPG dan versi Inggrisnya, The Cartoon Guide to Physics, beredar mulai tahun 1990 dengan cerdik menyisipkan beberapa cerita mengenai peran Aristoteles, Galileo, Newton, Einstein dalam fisika, sampai isu-isu fisika yang masih tingkat wacana seperti Big Bang. 
"Selama berabad-abad, para fisikawan berada di bawah bayang-bayang Aristoteles..." (halaman 18), atau "Berkat kejeniusan Galileo, kita bisa mengatakan tidak perlu untuk mempertahankan benda tetap..." (19), atau "Setelah sedikit berdiskusi, ilmuwan menemukan cara menyatakan sifat momentum secara ilmiah..." (69) sepintas lalu terkesan trivial. Akan tetapi, mereka yang gemar membaca sejarah perkembangan sains akan mengerti betapa cerita-cerita seperti ini perlu sekali diperkenalkan sebagai informasi penting bagi siapa saja yang mau berkenalan dengan fisika secara lebih utuh. 
Buku ini terdiri dari dua bagian besar bidang fisika: mekanika serta listrik dan magnet. Masing-masing terdiri dari 11 bab dan 13 bab. Kecuali perkenalan kepada elektrodinamika kuantum di bab terakhir, urutan-urutan bab ini memang konvensional. Namun, penyajian dan cara bertuturnya tidak diragukan lagi memperlihatkan betapa si penulis dan si pembuat kartun mengerti bagaimana membuat fisika lebih mudah dimengerti. 
Bab 12 dimulai dengan, "Sekarang kita beralih dari ilmu mekanika ke listrik dan magnet. Dalam ilmu mekanika, kandungan inti materi disebut massa. Dalam ilmu listrik, konsep dasarnya adalah muatan". Grand opening luar biasa yang hanya bisa ditulis seorang yang mengerti betul fisika dan masa depannya. Massa dan muatan: inilah dua dari sekian proyek fisika yang belum tuntas dikupas habis sejak Aristoteles "menguasai" fisika 2.300 tahun lalu sampai saat ini. 
Tidaklah berlebihan Arno Penzias, penerima Nobel Fisika tahun 1978, dalam sampul belakang buku ini dikutip mengatakan, "Saya benar-benar menyukai buku ini sebagai hiburan, sekaligus mendapatinya sebagai alat bantu pengajaran yang berguna. Saya selalu memberikan buku ini sebagai tanda 'terima kasih'." 
Kartun Fisika adalah kado yang tepat bagi mereka yang mau melengkapi pengertiannya tentang fisika, tapi juga untuk mereka yang mau swabelajar fisika untuk kesenangan maupun untuk suatu keperluan.
sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar